Sejarah Kraton Yogyakarta
Setelah
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah
Yogyakarta. Kemudian untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi
membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini di
nilai cukup baik karena di apit oleh dua sungai, sehingga terlindung dari
kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Lokasi kraton ini
konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan
ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram
(Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata
ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas,
diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton
mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni
Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia
setelah mati).
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta
memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara),
Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung
Selatan. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain,
Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu
pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Kraton merupakan mata air
peradaban yang tak pernah surut di makan waktu. Sejak berdirinya, Kraton
Ngayogyokarto Hadiningrat, merupakan salah satu dari empat pusat kerajaan Jawa
(projo kejawen) yang merupakan pewaris sah kejayaan kebudayaan Mataram.
Para raja Mataram dan kemudian para Sultan Yogya
mendapat predikat sebgai raja pinandhita dan narendra sudibyo yaitu pencipta
(kreator) kebudayaan yang produktif (Purwadi 2007). Para Sultan bersama para
ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial,
sistem ekonomi, dan seterusnya. Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya,
melahirkan banyak karya seni dan arsitektur. Dengan Kraton sebagai pusat,
masyarakat Yogya sudah berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri
sejak sebelum bergambung dengan RI (1945). Itulah yang disebut dalam Pasal 18
UUD 1945 (sebelum diamandemen) sebagai ‘’susunan asli.” Sejak Kraton berdiri,
Yogya telah mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan telah melakukan
reformasi pada tahun 1926 (reorganisasi Pangreh Praja).
Kraton sebagai pusat peradaban terlihat dari pola
penyebaran kebudayaan yang memancarkan keluar secara sentrifugal. Dulu, Kraton
merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan kasultanan
diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja. Lapisan
terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara, merupakan
ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting.
Pusat nagara adalah Kraton. Lapisan kedua, disebut wilayah nagaragung yaitu
daerah-daerah sekitar kota. Lapisan ketiga, disebut wilayah monconagoro yaitu
daerah-daerah yang letaknya jauh.
Dibandingkan dengan Kraton Yogya, Republik
Indonesia adalah sebuah peradaban yang masih sangat muda. Yogya turut membidani
kelahiran peradaban baru itu. Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang
sangat kritis, Yogya memberi diri menjadi ”ibu pengasuh” dengan segala
pengorbanannya. Secara politis itu sangat jelas, ibukota
RI dipindah ke Yogya (sejak 1946). Kraton (Sri Sultan Hamengku Buwono IX)
mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan eksistensi RI di
mata dunia dan sebagainya. Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi
pertumbuhan peradaban Indonesia. RI bagaikan bayi yang menyusu pada Yogya
sebagai induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya.
Nilai keagamaan
ABSTRAK Keraton Yogyakarta merupakan suatu tempat
yang mempunyai makna filsafat, religius dan budaya. Kasultanan ogyakarta
merupakan kelanjutan dari Dinasti Mataram Islam setelah adanya Perjanjian
Giyanti pada 1775. Setelah perjuangan gigih Kanjeng Pangeran Haryo Mangkubumi
selama hampir delapan tahun yang terutama ditujukan kepada Pemerintahan Kompeni
Belanda. Sebulan setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, maka diresmikanlah
berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan selama satu tahun maka pembangunan Keraton
dapat selesai pada tahun 1756 Masehi. Kasultanan Yogyakarta merupakan pusat
kebudayaan Jawa dan keraton adalah type idealnya yang kebanyakan pemeluk agama
slam Jawa yang bersifat kejawen dan sinkritis. Hal ini tidak bisa dihilangkan
karena sudah mengakar dan menyatu dengan unsur kebudayaan lama di Nusantara,
seperti religi, bahasa, kesenian dan adat istiadat.
Sebagai sebuah kerajaan pada
umumnya berbagai upacara tradisional selalu diselenggarakan sehingga dapat
disaksikan wujud dari gagasan-gagasan serta alam pikiran religius leluhur.
Berbagai ungkapan simbolis banyak mengandung nilai-nilai sosial budaya yang
sudah terbukti sangat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan, keselarasan
kehidupan masyarakat dari masa kemasa, yang erat kaitannya dengan sejarah
perkembangan kehidupan beragama di tanah air dan erat pula dengan sejarah
kerajaan-kerajaan Islam Jawa. Pada masa Sri Sultan HB IX keratom mempelopori
berbagai perubahan baik mengenai organisasi Pemerintahan maupun dalam
perampingan penyelenggaraan berbagai upacara tradisional. Perubahan itu
dilakukan oleh Dorodjatun (HB IX) jauh sebelum Kemerdekaan RI. Ketika naik
tahta pada tahun 1940 sudah banyak perubahan yang dilakukannya, setelah
Kemerdekaan Indonesia maka Kasultanan Yogyakarta menyatakan bergabung dengan
pemerintah RI. Walaupun demikian keraton masih mempunyai legitimasi kekuasaan.
Div
2.1.3 Fungsi dan Manfaat Keberadaan Kraton Yogyakarta bagi
Masyarakat
2.1.3.1 Fungsi
Fungsi Kraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi
Kraton pada masa lalu dan fungsi Kraton pada masa kini. Pertama- tama, kami
akan menjelaskan mengenai fungsi Kraton pada masa lalu. Pada masa lalu keraton
berfungsi sebagai tempat tinggal para raja. Kraton didirikan pada tahun 1756,
selain itu di bagian selatan dari Kraton ini, terdapat komplek kesatriaan yang
digunakan sebagai sekolah putra-putra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari
sekolah rakyat karena memang sudah merupakan aturan pada Kraton bahwa putra-
putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat.
Sementara itu, fungsi Kraton pada masa kini adalah sebagai tempat wisata yang
dapat dikunjungi oleh siapapun baik turis domestik maupun mancanegara. Selain
sebagai tempat untuk berwisata, tidak terlupakan pula fungsi Kraton yang
bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu sebagai tempat tinggal Sultan.
Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari
Kraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca
ini memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut
Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di
sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami
juga mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke
IX dari Kraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam
usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai
macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang
terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang terkenal yaitu, “
Tahta untuk rakyat”.
2.1.3.2 Manfaat
Manfaat yang dimiliki Kraton Yogyakarta selain
menjadi pusat tempat untuk pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, juga
sebagai tempat Cagar Budaya yang harus dilestarikan oleh semua orang khususnya
warga Jogjakarta itu sendiri, karena Kraton Yogyakarta merupakan warisan
kebudayaan Nasional yang masih bertahan dalam mempertahankan fungsinya hingga
saat ini. Selain itu, Kraton Yogyakarta masih memiliki manfaat lain, yakni
sebagai objek pariwisata yang dapat menambah ilmu bagi wisatawannya, menambah
kekhasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menambah jumlah pendapatan daerah DIY.
Latar Belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau
akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang terdiri atas banyak
suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Berbagai perbedaan itu
menimbulkan berbagai kebudayaan yang berbeda pula. Setiap kebudayaan memiliki
pusatnya masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia,
tepatnya di Jawa, adalah Keraton Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta atau Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana resmi
Kasultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian
Republik Indonesia menjadikan Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah
berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755. Lokasi keratin
konon merupakan bekas sebuah pesanggrahan bernama Garjitawati, tempat istirahat
iring-iringan janazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri. Cerita lain menyebutkan lokasi keratin adalah sebuah
mata air Umbul Pacethokan yang berada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiam di
Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping,
Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta
memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara),
Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung
Selatan). Selain itu Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Keraton
Yogayakarta juga merupakan salah satu lemabaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya.
II. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan sebagai wacana pembaca tentang Keraton Yogyakarta dari
sudut pandang wujud-wujud dan perubahan yang ada di dalamnya. Makalah ini juga
dibuat untuk menganalisis unsur kemanusiaan yang secara simbolik ada di Keraton
Yogyakarta.
Selain itu, makalah ini memuat fakta-fakta dan definisi
secara universal tentang Kerton Yogyakarta. Fakta-fakta yang ada dalam makalah
ini dapat memudahkan pembaca dalam penggunaan sebagai referensi analisis
tentang Keraton Yogyakarta.
Wujud Budaya di Keraton Yogyakarta
A. Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud
ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba
atau disentuh. Wujud kebudayaan yang ada di Keraton Yogyakarta merupakan
pemikiran, filosofi, dan mitologi yang berkaitan dengan pembangunannya.
Pemikiran mengenai Keraton Yogyakarta dituangkan
pada penataan tata ruang keraton, termasuk pola dasar landascape kota tua
Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap
bangunan, nama-nama benda-benda pusaka, dan benda-benda lain yang ada di
dalamnya masing-masing memiliki nilai filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri.
Gagasan yang ada di Keraton Yogyakarta juga
dituangkan dalam bentuk motif batik. Beberapa motif batik yang ada di Keraton
Yogyakarta merupakan motif batik eksklusif. Motif batik ini dibuat oleh para
putri atau gadis yang akan dilamar oleh para pangeran keraton. Tujuannya untuk
melestarikan batik di tanah Jawa. Mereka harus membuat motif batik yang
sebelumnya belum pernah dibuat oleh siapapun. Itu sebabnya motif batik ini
mendapat julukan notif batik yang eksklusif.
B. Aktivitas
(Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai
suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu.Wujud ini sering pula
disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat
tata kelakuan.
Ada beberapa wujud kebudayaan berupa aktivitas
yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam berinteraksi, para penghuni Keraton
menggunakan bahasa jawa. Orang yang lebih muda dan/atau orang yang berpangakat
lebih rendah harus menggunakan bahasa jawa krama inggil kepada yang lebih tua
dan/atau yang berpangkat lebih tinggi. Sedangkan orang yang lebih tua dan/atau
orang yang berpangkat lebih tinggi menggunakan bahasa jawa ngoko/ngoko alus
kepada yang lebih muda/berpangkat lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari,
orang yang lebih muda dan/atau berpangakat lebih rendah tidak boleh berjalan
membelakangi orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi.
Beberapa hal tersebut apabila dilanggar akan dikenai sanksi atau hukuman berupa
teguran atau cemooh karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma yang
berlaku di dalam keraton dan di kalangan masyarakat jawa pada umumnya.
Contoh wujud kebudayaan berupa aktifitas yang lain
adalah pemberian sesaji di ruang-ruang yang dianggap keramat atau suci. Ini
merupakan aktifitas rutin yang tidak boleh lupa dilakukan oleh para abdi dalem
keraton. Selain itu, di Keraton Yogyakarta masih diselenggarakan
upacara-upacara adat yang terus dilaksankan hingga saat ini. Upacara-upacara
tersebut adalah Tumplak Wajik, Grebeg, Sekaten, Siraman Pusaka, dan Labuhan.
C. Artefak
(Karya)
Artefak adalah
wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga
wujud kebudayaan.
Beberapa artefak atau wujud kebudayaan fisik di
Keraton Yogyakarta adalah bangunan keraton beserta ruang-ruang yang ada di
dalamnya, kain-kain batik dan benda-benda pusaka keraton (contoh: keris,
regalia, gamelan, bendera dan panji kebesaran Keraton Yogyakarta, kereta kuda,
batik, dan lain-lain), gunungan yang ada pada saat diselenggerakannya upacara
Grebeg, Mesjid Gedhe dan Alun-alun Utara yang merupakan tempat
diselenggarakannya upacara Grebeg dan sekaten, dan lain-lain.
II.
Unsur Kemanusiaan Secara Simbolik dan
Kaitannya dengan Perubahan Budaya di Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat
kebudayaan Jawa mempunyai beberapa pusaka yang menyimbolkan unsur-unsur
kemanusiaan. Kita ambil batik sebagai contoh. Secara historis, batik berasal
dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis
pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk
binatang dan tanaman. Seiring berjalannya waktu, batik mengalami perkembangan
dari sisi corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada
motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber, dan sebagainya.
Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dan seni dekorasi pakaian, mucul
batik tulis seperti yang kita kenal sekarang.
Batik memiliki unsur keindahan yang tersirat dari
corak atau motifnya. Unsur keindahan ini tentu sangat bergantung pada tiap
individu yang memandang dan menilainya. Batik sebagai salah satu warisan budaya
asli Indonesi mengalami perubahan kebudayaan. Kesenian batik merupakan kesenian
gambar di atas kain untuk pakaian ynag menjadi salah satu kebudayaan keluarga
raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam
keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para
pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar
keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan
dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Saat ini, batik tidak hanya dipakai oleh keluarga
kerajaan. Batik sudah berubah fungsi menjadi pakaian yang sehari-harinya
dipakai oleh masyarakat Indonesia. Batik dalam hal ini mengalami perubahan
difusi. Difusi merupakan proses persebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu
pihak ke pihak lain. Batik merupakn unsur budaya daerah yang berpindah menjadi
unsur kebudayaan nasional. Hal ini disebabkan karena fungsi dari batik
dirasakan cocok dan berguna bagi kehidupan masyarakat. Batik juga merupakan
unsur budaya yang mudah diterima dan diserap. Saat ini, banyak penjual pakaian
yang menjual pakaian bercorak batik. Hal ini dirasa menguntungkan melihat
banyaknya peminat dan penggemar batik di dalam negeri bahkan dari manca negara.
Hal ini karena batik merupakan unsur budaya daerah yang sangat digemari karena
keindahan corak atau motifnya.
Batik merupakan salah satu warisan asli Indonesia
yang sangat dilindungi mengingat negara tetangga yaitu Malaysia beberapa waktu
yang lalu bermain api dengan mengklaim batik merupakan warisan milik negara
mereka. Dalam Museum Keraton Yogyakarta terdapat salah satu ruangan yang di
dalamnya terdapat berbagai macam kain bermotif batik. Dalam ruangan ini kita
tidak boleh mendokumentasikan semua yang ada di dalamnya. Ini merupakan langkah
pencegahan agar tidak ada orang yang bias menjiplak atau bahkan mengklaim motif
batik yang terdapat di dalamnya.
Dari kasus paragraf sebelumnya terdapat unsur
kemanusiaan berupa kegelisahan, harapan, serta tanggung jawab dan pengabdian.
Pihak keraton gelisah apabila motif batik yang ada ruangan tersebut didokumentasikan
lalu disebarluaskan, nantinya akan ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
menjiplak dan mengklaim bahwa motif batik itu adalah kreasi miliknya. Maka dari
itu pihak keraton melarang adanya pendokumentasian di ruangan tersebut dengan
harapan motif batik yang ada di dalamnya tetap terjaga dan tidak ada pihak yang
sewenang-wenang mengklaim atau bahkan menjiplaknya. Hal tersebut merupakan
sebuah rasa tanggung jawab dan pengabdian pihak keraton kepada si empu atau
pembuat motif batik tersebut.
Batik juga mengalami akulturasi yang berbentuk
dekulturasi. Dekulturasi merupakan proses akulturasi yang mengganti unsur
budaya lama dengan yang baru dan unsur budaya lama ini hilang karena sudah
ditinggalkan. Pada awalnya batik dilukis dan ditulis pada daun lontar. Saat ini
batik sudah dilukis dan ditulis diatas kain sebagai bahan pakaian, gorden,
taplak meja, dan lain-lain.
Selain batik, ada juga benda pusaka di Keraton
Yogyakarta berupa alat transportasi berupa kereta kuda. Ada berbagai jenis
kereta kuda yang dimiliki Keraton Yogyakarta. Kereta-kereta tersebut dulunya
merupakan kendaraan utama Kasultanan Yogyakarta yang digunakan baik untuk
kepentingan keraton maupun kepentingan pribadi.
Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta tersebut
mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan,
member “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan
Jamasan pusaka di museum kereta hanya khusus dilakukan untuk kereta pusaka.
Upacara ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga
museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta
ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri
Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain.
Upacara Jamasan masih dilakukan hingga saat ini
karena merupakan tradisi khas dari Keraton Yogyakarta. Hal ini juga dilakukan
untuk menjaga kebersihan kereta-kereta tersebut agar tetap terawatt. Ini
merupakan bentuk tanggung jawab dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk
membersihkan kereta-kereta tersebut pada upacara Jamasan tersebut.
Saat ini hanya ada beberapa kereta kuda yang
terdapat di Keraton Yogyakarta yang masih dipakai pada saat penobatan raja dan
sebagai kereta pengantar jenazah raja ke Makam Imogori. Kereta kuda tidak lagi
dipergunakan sebagai kendaraan sehari-hari penghuni keraton. Mereka sudah
beralih kepada kendaraan bermesin seperti mobil untuk kendaraan sehari-hari.
Dari paragraf di atas, terdapat sebuah perubahan
budaya secara akulturasi yaitu proses yang timbul apabila sekelompok masyarakat
dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing sehingga
lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian asli.
Walaupun saat ini penghuni keraton sudah tidak lagi
menggunakan kereta kuda untuk kendaraan sehari-hari, kereta kuda tetap
digunakan pada saat-saat tertentu. Jadi, kereta kuda tidak sepenuhnya
ditinggalkan. Unsur budaya asing berupa alat transportasi mobil dapat masuk ke
Keraton Yogayakarta karena besar sekali kegunaannya. Selain lebih cepat
daripada kereta kuda, dengan mobil kita dapat pergi hingga luar kota tanpa
memakan waktu yang terlalu lama. Bentuk proses akulturasi yang terjadi dalam
kasus ini adalah originasi. Originasi merupakan perubahan yang membawa unsur
budaya yang betul-betul baru.
III. APRESIASI BUDAYA TERHADAP KERATON
YOGYAKARTA
Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Lembaga
Istana Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta. Sekitar setahun setelah Kesultanan
Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara menjadi
Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada tahun 1950, Keraton
Yogyakarta mulai dipisahkan dari Pemerintah Daerah Istimewa dan di-depolitisasi
sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya
Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas
budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mempunya hal yang paling
istimewa yang membedakan Keraton Yogyakarta dnegan Keraton/Istana
kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta sebagai Yang Dipertuan
Pemangku Tahta Adat/Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam
bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari
permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan
Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa
yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan
Gubernur/Kepala Daerah lainnya. Antara 1988-1998, Guberur Dareh Istimewa
Yogyakarta dijabat oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa yang juga penguasa Paku
Alaman. Setelah 1999, keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat
mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Derah Istimewa. Saat
ini yang menjadi Yang Dipretuan Pemangku Tahta adalah Sri Sultan Hamengku
Buwono X.
Keraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta
tidak hanya sebuah simbol semata melainkan sebagai salah satu pusat kebudayaan
Jawa karena di Keraton Yogyakarta masih diadakan tradisi-tradisi kebudayaan
yang ada sejak awal mula Keraton berdiri. Sultan sebagai pemangku adat
tertinggi juga masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan masyarakat
Yogyakarta. Masyarakat modern di Yogyakarta masih banyak yang tunduk dengan apa
yang diperintahkan Sultan. Apabila Sultan mendapat tekanan dari pemerintah
pusat, masyarakat Yogyakarta dengan siap melindungi Sultan dari tekanan
tersebut. Bahkan masyarakat di luar Yogyakarta juga ikut menentang saat
pemerintah mengeluarkan statement bahwa sistem pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan
sesuatu yang sangat menggemparkan karena pernyataan tersebut merupakan
pernyataan ketidaktahuan si pembuat pernyataan tentang perjanjian yang dibuat
oleh Indonesia dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1950.
Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat
berharga bagi masyarakat Jawa dan tentunya masyarakat Yogyakarta sendiri.
Keraton adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan apabila hilang, ciri khas
Yogyakarta juga akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area
Keraton tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan
budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah yang
membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan manca
negara. Maka dari itu, Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa harus tetap kita
pertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Trisnu Brata, Nugroho. 2006. Antropologi 1 kelas
XI. Jakarta: ESIS
Trisnu Brata, Nugroho. 2006. Antropologi 2 kelas XII. Jakarta: ESIS
Budaya. 2006. Diakses dari www.wapedia.com. Pada
14 Februari 2011.
Sumber :Google Image , sepengatahuanku.blogspot.co.id ,